Senin, 17 Oktober 2011

Perencanaan Sebagai Arahan

Di dalam kehidupan keseharian, pada umumnya, seseorang membutuhkan perencanaan karena ia menyadari diperlukannya arahan tindakan yang harus dipersiapkannya untuk melakukan kegiatan atau menghadapi kondisi yang akan datang. Banyak orang yang mengartikan perencanaan adalah upaya untuk menyusun atau membuat suatu atau serangkaian arahan tindakan (actions) atau kegiatan (activities) yang akan dilakukan di masa depan. Sebagai suatu arahan di masa depan, maka perencanaan merupakan kegiatan yang belum dilaksanakan, dan bersifat sebagai persiapan untuk menghadapi masa depan. Pengertian yang bersifat umum ini ternyata menjadi salah satu pengertian dasar untuk memahami perencanaan, seperti dijelaskan di dalam dua buah pengertian sebagai berikut:
Planning is the guidance of future action (Forester 1989: 3).
 Planning (to plan) is the process of directing human activities and natural forces with reference to the future (Branch, 1983, 2).
Sedangkan arahan tindakan itu sendiri adalah suatu atau serangkaian kegiatan yang akan menjadi pedoman bagi seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkannya, seperti dijelaskan di dalam pengertian berikut ini:
Planning is the laying out of course of action that we can follow and that will take us to our desired goals (Churchmann; 1968).
Pengertian ini juga sekaligus menunjukkan bahwa tanpa suatu tujuan yang jelas dan belum ditentukan sebelumnya, maka suatu perencanaan tidak dapat dibuat atau dilaksanakan. Tujuan itu sendiri adalah suatu kondisi yang diharapkan, biasanya berupa kondisi di masa depan yang lebih baik dari kondisi yang ada pada saat dilaksanakannya perencanaan. Singkatnya tujuan menjadi driven penting di dalam pelaksanaan perencanaan.

Arahan tindakan yang dibuat atau disusun dalam suatu perencanaan, merupakan sebuah atau serangkaian tindakan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sehingga sesuatu yang seharusnya terjadi dapat dicapai. Dalam hal ini,  pada dasarnya seseorang membutuhkan dan melaksanakan perencanaan karena ia melihat bahwa sesuatu yang terjadi (what is) dapat dan bahkan seringkali berbeda dengan yang seharusnya atau yang diharapkan terjadi (ought to be). Perbedaan itu sendiri dapat dirasakan melalui nilai-nilai (values) yang dimilikinya. Jika perbedaan tersebut tidak menimbulkan masalah, mungkin tidak akan dihiraukan. Tetapi apabila perbedaan tersebut menyebabkan dampak yang sangat merugikan, maka seseorang akan sadar akan dibutuhkannya suatu persiapan atau perencanaan. Oleh karena itu, dengan kemampuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, ia kemudian melakukan tindakan perencanaan, yang menghasilkan arahan untuk melakukan tindakan untuk mencapai apa yang seharusnya atau diharapkan terjadi, atau minimal dapat mengurangi perbedaan tersebut.

Perbedaan antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi seringkali berkonotasi bahwa telah terjadi masalah. Dengan demikian, perencanaan dibutuhkan untuk menghasilkan suatu arahan tindakan yang dibutuhkan karena terkait dengan suatu permasalahan, misalnya, dalam rangka untuk menyelesaikan atau menghindarkan permasalahan, atau minimal dapat mengurangi perbedaan tersebut. Dalam kaitannya dengan permasalahan ini, banyak perencana yang mengatakan bahwa esensi perencanaan sebenarnya bukanlah bersifat menyelesaikan atau meniadakan suatu permasalahan, tetapi lebih cenderung untuk menghasilkan arahan tindakan agar terhindar dari suatu permasalahan. Seperti pada pengertian berikut ini:
The essence of planning is preventative rather than remedial. (Catanese and Steiss 1968: 174).
Planning is a process of strategic choice, requiring a capacity to anticipate the future and yet also to adapt to the unforeseen (Friend and Jessop, 1969).
Meskipun perencanaan tampaknya bertujuan hanya untuk mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diharapkan, seperti dijelaskan pada pengertian-pengertian perencanaan diatas, sebenarnya bukan berarti bahwa perencanaan sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan. Perencanaan juga dipergunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan pengertian yang luas, yaitu bahwa dampak yang terjadi dari permasalahan tersebut dapat diantisipasi melalui berbagai arahan tindakan yang harus dilakukan.
Berdasarkan kajian atas pengertian-pengertian perencanaan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa alasan dibutuhkannya suatu arahan tindakan, sebagai bagian dari pengertian perencanaan, antara lain adalah:

  1. Arahan tindakan dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan atau harapan di masa depan yang lebih baik.
  2. Arahan tindakan dibutuhkan untuk mengurangi perbedaan yang terjadi antara apa yang terjadi dan apa yang seharusnya terjadi.
  3. Arahan tindakan dibutuhkan untuk mengurangi resiko kegagalan dan yang mungkin saja terjadi dalam melakukan tindakan di masa depan.
  4. Arahan tindakan dibutuhkan untuk mencegah terjadinya suatu masalah.
  5. Arahan tindakan tindakan dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu masalah.

Disamping berbagai alasan diatas, masih banyak lagi alasan dibutuhkannya suatu perencanaan. Pada dasarnya, perencanaan adalah suatu tindakan yang dilaksanakan untuk menciptakan suatu arahan tindakan. Tanpa adanya hasil berupa arahan tindakan, maka mungkin tindakan tersebut belum bisa disebut sebagai perencanaan, karena rindakan yang dilakukan akan berlangsung tanpa arah yang jelas dan hal itu sering disebut sebagai tindakan yang tanpa perencanaan yang jelas. Singkatnya, perencanaan dan arahan merupakan dua kata yang tampaknya tidak dapat dipisahkan. 

Perencanaan Sebagai Suatu Proses

Banyak yang mengatakan bahwa perencanaan diperlukan sebagai arahan untuk melakukan tindakan. Pengertian arahan cenderung menggambarkan perencanaan sebagai sebuah kata benda, yang bersifat statis, tetap, tidak bergerak, atau tidak dinamis. Anggapan bahwa perencanaan sebagai sebuah benda, sering diartikan bahwa perencanaan sebagai adalah hasil dari suatu proses. Sedangkan hasil perencanaan itu sendiri disebut sebagai rencana atau plan. Oleh karena itu, perencanaan dalam pengertian sebagai arahan untuk melakukan tindakan, sebagai hasil dari suatu proses, disebut sebagai rencana atau plan (untuk membedakannya dengan pengertian perencanaan lainnya, penulis menggunakan istilah plan untuk menjelaskan pengertian perencanaan seperti ini).

Pengertian perencanaan sebagai sebuah plan pernah berkembang dengan pesat selama lebih kurang satu abad di Benua Eropa dan Amerika Serikat, dimulai sejak pertengahan abad kesembilanbelas hingga sekitar tahun 1950-an. Pada saat itu, plan yang diwarnai oleh pemikiran perencanaan moderen yang cenderung bersifat komprehensif, mewarnai pola-pola perencanaan (Neuman, 1999). Plan dianggap sebagai hasil akhir dari proses perencanaan yang dilakukan melalui pemikiran menyeluruh dan mendalam. Oleh karena itu, plan diyakini harus dilakukan dan diwujudkan dalam kenyataan yang sebenarnya. Tetapi, pada kenyataannya, banyak plan yang tidak dapat diwujudkan seperti yang diharapkan. Banyak plan yang dipandang terlalu kaku, tidak dapat mengakomodasikan perubahan perkembangan kegiatan masyarakat. Hal ini terjadi karena bentuk plan tersebut berupa rencana zonifikasi kawasan yang disusun dengan tidak memberikan kesempatan terjadinya perubahan arah fungsi lahan yang diakibatkan oleh perubahan kegiatan masyarakat. Dengan bermunculannya pihak pengembang swasta bermodal kuat, yang mampu menguasai, membangun dan mengembangkan kawasan-kawasan luas dengan menggunakan persepsi dan keinginan berdasarkan naluri bisnis mereka, plan yang dibuat seringkali tidak mampu mengakomodasikannya. Dalam konteks ini, konotasi pengertian perencanaan sebagai sebuah benda, dan hasil dari proses perencanaan, berkonotasi bahwa perencanaan hanya dipandang sebagai alat (tool) atau instrumen akhir yang dibutuhkan untuk mengarahkan ruang-ruang kegiatan masyarakat. Sementara itu, kegiatan-kegiatan yang terjadi di alam nyata mengalami perubahan yang amat dinamis yang seringkali amat berbeda dengan arahan plan tersebut.

Setelah Perang Dunia Kedua, perencanaan sebagai plan mulai ditinggalkan karena telah menuai berbagai pertanyaan dan kritik karena ketidakjelasan masa depan pengimplementasiannya (Meyerson and Banfield 1955; Altshuler 1965). Pertanyaan dan kritik tersebut dijawab melalui pemunculan konsep-konsep baru tentang perencanaan yang dikemukakan oleh para pemikir perencanaan. Salah satu diantaranya adalah bahwa perencanaan tidak selamanya komprehensif yang idealis, tetapi harus bersifat ‘middle-range’, yaitu cenderung mengarah pada hal-hal yang bersifat berada diantara (ditengah-tengah) idealis dan praktis (Meyerson 1956). Tetapi, konsep yang lain mengatakan bahwa untuk menyesuaikan dan mengakomodasikan dinamika perubahan yang terjadi, perencanaan harus bersifat umum (master plan), sehingga berisi hanya arahan-arahan global, yang diwujudkan dalam bentuk rencana guna lahan, bukan berupa zonifikasi yang terlalu mengikat (Chapin, 1957).

Sementara itu, Lindblom (1959) lebih menekankan bahwa perencanaan seharusnya bersifat praktis dan fungsional, tetapi mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan. Pemikir-pemikir perencanaan yang lain mengungkapkan perlunya pendekatan fungsional pada perencanaan, yang diwujudkan dalam bentuk perencanaan yang bersifat sektoral, seperti perencanaan perumahan, perencanaan transportasi dan perencanaan sarana umum (Jacobs, 1978).

Diantara berbagai pemikiran tersebut, terungkap bahwa terdapat pemikiran yang menginginkan terjadinya perubahan pemahaman terhadap perencanaan. Perencanaan tidak berarti hanya sebagai hasil (what) atau plan saja, tetapi termasuk bagaimana (how) mewujudkan arahan yang terdapat didalamnya. Oleh karena itu, perencanaan harus dipandang sebagai proses yang berkesinambungan yang dimulai dari penyusunan arahan hingga terwujudkan apa yang diinginkan atau diharapkan. Akibatnya, sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, paradigma perencanaan cenderung mengalami pergeseran, dari persepsi sebagai hasil (plan), menjadi sebuah proses (Neuman, 1999). Tepatnya, sejak era tahun 1960-an, plan mulai dtinggalkan dan perhatian lebih ditekankan pada perencanaan sebagai sebuah proses (Davidoff, 1965; Dyckman, 1969; Faludi, 1973; Godschalk, 1974; Forester, 1980; Alexander, 1984; Faludi, 1987; Friedmann, 1987; Forester, 1989; Krumholz dan Forester, 1990).

Perencanaan sebagai proses berarti bahwa perencanaan tidak hanya terfokus pada akhir proses itu sendiri, tetapi pada keseluruhan proses kegiatan pengkajian yang dimulai dari apa yang diharapkan atau diinginkan sampai terwujudnya harapan dan keinginan tersebut. Perencanaan tidak sekedar suatu proses menterjemahkan berbagai pemikiran, keinginan, harapan dan cita-cita manusia kedalam bentuk arahan bagaimana mewujudkannya, tetapi bahkan termasuk proses tindakan melaksanakan arahan tersebut dalam kenyataan yang sesungguhnya, seperti yang tertuang didalam pengertian-pengertian perencanaan berikut ini:
Planning is process of human forethought and action based upon that thought (Chadwick, 1971).
Planning is the process of preparing a set of decisions for action in the future, directed at achieving goals by preferable means (Dror, 1973).
Planning is a thoroughly rhetorical activity (Throgmorton, 1993).
Planning is simply another of our many processes for converting history into current activity... (Forrester 1975: 167).
Planning is now viewed as a process (still largely undefined) and the master plan is a flexible guide to public policy (Bolan 1967: 234).
Proses itu sendiri berarti suatu kegiatan yang berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu, baik yang tertata secara sistematis maupun yang berlangsung secara alamiah. Dengan demikian, persepsi perencanaan sebagai proses menunjukkan bahwa perencanaan harus dilihat sebagai sebuah rangkaian kegiatan yang ditata secara sistematis, untuk mendapai tujuan tertentu.